Rabu, 02 Desember 2015

Menyikapi Perubahan Iklim


Menyikapi Perubahan Iklim

Pemanasan global sudah menjadi isu utama dunia yang tidak pernah habis untuk dibahas, apalagi di saat keadaan bumi yang genting seperti ini. Sejak tahun 1990-an hingga 2000-an, isu ini mencapai puncaknya, karena kesadaran manusia terhadap lingkungannya yang semakin tergerus kesegarannya. Pemanasan global ini memicu terjadinya gejal-gejala 'sakit' bumi, seperti efek rumah kaca, perubahan iklim, kenaikan debit air laut, pengikisan lapisan es di kutub, dan lainnya masih banyak lagi.

Pemanasan global yang memicu perubahan iklim ini semakin lama semakin ekstrim. Ilmuwan bahkan memperkirakan tahun 2016 dan 2017 bakal menjadi tahun terpanas di bumi. Padahal rata-rata suhu di tahun 2015 ini saja sudah sangat tinggi. Kita ingat suhu tinggi yang terjadi di India tahun ini menyebabkan 2000 orang tewas dikarenakan kepanasan dan dehidrasi. Suhu tinggi tersebut bahkan mencapai titik 45 derajat celcius. Ini membuat keadaan sulit bagi kaum miskin yang tidak memiliki keberdayaan untuk menyelamatkan diri ataupun melindungi diri mereka. Dikarenakan juga perekonomian yang melambung akibat hawa panas yang berlangsung di sana.

American Academy of Pediatrics (AAP) memiliki kekhawatiran khusus terhadap perubahan iklim yang semakin ekstrim ini. Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, perubahan iklim ini akan berpengaruh terhadap kesehatan, terutama anak-anak. Ini dikarenakan anak-anak rentan terhadap perubahan-perubahan ini karena mereka masih dalam tahap tumbuh kembang dan belum memiliki organ serta daya tahan tubuh yang kompleks seperti halnya orang dewasa. Menurut AAP, anak-anak yang berasal dari kalangan menengah ke bawah yang akan paling banyak mengalami penderitaan tersebut. Orang tua mereka yang mengalami kesulitan ekonomi, akan menyulitkan mereka menghadapi perubahan alami global karena segala hal akan semakin sulit didapatkan ke depannya. AAP memperkirakan pada 2030 perubahan iklim akan menyebabkan kematian lebih dari 48000 anak di Asia dan sub-Sahara Afrika dikarenakan penyakit diare.

Selain itu, AAP juga menyatakan bahwa perubahan iklim dapat meningkatkan penyebaran penyakit menular, seperti chikungunya, demam berdarah, malaria, virus West Nile, penyakit Lime, meningitis, dan semacamnya.

Sayangnya, Pemerintah Indonesia sendiri tampaknya masih belum menyiapkan dengan jeli perubahan iklim ini terutama pada segi pendanaan. Menkeu Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa pemerintah masih belum memiliki anggaran khusus perubahan iklim meski ingin berperan aktif bersama negara-negara lain mengatasi dan mengantisipasi perubahan iklim. Menkeu menambahkan bahwa negara membutuhkan investor-investor untuk menangani proyek perubahan energi, namun sayangnya, pernyataannya belum benar-benar menjelaskan tentang peran nyata pemerintah yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat untuk mengatasi dan mengantisipasi perubahan iklim. Meski begitu, Indonesia juga telah merencanakan target pengurangan pemakaian emisi mencapai 29 persen.

Pembentukan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang mencapai kuantitas ideal dengan yang dibutuhkan masing-masing kota di Indonesia salah satu langkah yang perlu secepatnya direalisasikan. Sementara itu, penegakan hukum mengenai perlindungan terhadap alam, seperti hukum membuang sampah sembarangan dan penebangan dan pembakaran liar hutan perlu dipertegas lagi. Jangan sampai di tahun mendatang kebakaran hutan yang parah di Sumatera 2015 ini kembali terulang. Saya pribadi berpikir, jika kota-kota di Indonesia penuh dengan pohon asri di jalanan, maka orang-orang akan beralih ke modal transportasi yang lebih ramah lingkungan seperti bersepeda apalagi berjalanan kaki, karena suhu tidak akan begitu panas, dan matahri tidak akan begitu terik, yang biasanya menjadi alasan orang-orang untuk menggunakan kendaraan bermotor pribadi, selain alasan kepraktisa. Kita pun perlu berkaca pada masyarakat adat yang masih menjaga hutan-hutan yang mereka tinggali dengan baik. Terbukti dalam bentuk kuantitas bahwa hutan-hutan yang ditinggali masyarakat adat terbebas dari kebakaran hutan dan lahan. Hanya hutan-hutan yang telah diambil korporasi saja yang mengalami kebakaran hutan atau lahan tersebut,. Salah satu alasan sederhananya adalah, karena masyarakat adat itu tahu bahwa bumi yang mereka pijak adalah tempat yang patut disyukuri dan dijaga kelestariannya untuk menyambung hidup anak cucu mereka nantinya.



http://news.liputan6.com/read/704819/pbb-95-yakin-manusia-penyebab-dominan-pemanasan-global
http://bisnis.liputan6.com/read/2306972/pemerintah-belum-siapkan-anggaran-untuk-atasi-perubahan-iklim
http://nasional.sindonews.com/read/1007199/149/2-000-warga-india-tewas-kepanasan-1433042669
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/11/perubahan-iklim-pengaruhi-kesehatan-anak
http://www.voaindonesia.com/content/pemerintah-siapkan-langkah-strategis-dalam-ktt-perubahan-iklim-2015/3077495.html
http://gaung.aman.or.id/2015/12/01/presiden-jokowi-ada-peran-masyarakat-adat-dalam-mitigasi-perubahan-iklim/